Tiga Puisi

Nirwan Dewanto

Taman Firdaus
 
Jalanan belum sepenuhnya diaspal,
Dan rumah-rumah masih dipulas
Dengan adonan gamping.
Adapun pohon-pohon kenari
 
Masih menjatuhkan bayang-bayang
Pada sepasang pengantin baru
Yang harus mencari sisa sisik
Bimasakti di dasar sungai.
 
Tapi bujang-dara itu lebih suka mengagumi
Bunga kecombrang di semak perdunya
Dan tandan pisang tanduk yang getahnya
Membutakan seekor ular penggoda.
 
Sedangkan para pengiring masih belajar
Membuat pisau dari sebongkah obsidian.
Itulah sebabnya kaum barbar dari kota
Belum kunjung menyerbu ke mari.
 
Laut memang tak terlalu jauh,
Tapi tak seorang pun tertarik pergi ke sana.
Lebih dari cukup garam di sini, kata si penghulu
Sambil mematahkan sepucuk teropong Cina.
 


Jalan ke Museum
 
Semua bola mata yang tercelup dalam cuka kaum borjuis akan menjadi acar bola mata.
 
Malam ini aku memeluk negeriku. Menjadi buta pun tak mengapa, asalkan aku tak menyerahkan sepasang bola mataku kepadamu.
 
Sudah kupeluk semua rel, dan semua sepur tetap menuju padamu. Sudah kupeluk semua laut, dan semua kapal tetap menuju padamu. Sudah kupeluk semua buku, dan sejarah tetap menuju padamu.
 
Mereka mengincar bola mataku supaya mereka bisa melihat revolusi yang kedua.
 
Sudah bertahun-tahun mereka bersiaga, dan limpahan air mata mereka pun berubah jadi cuka. Kaulah penyadapnya. Kaulah yang menyediakan bejana-bejana penampungnya.
 
Tapi untuk apa kau mengasah tajimu jika itu tak kaugunakan untuk mencungkil bola mataku?
 
Bila aku jadi buta besok, kau hanya bisa menjajakan cukamu di pasar kaum proletar.
 
Maka masuklah ke mari. Jadilah mata-mata bagi asmara buta kami, aku dan negeriku. Pecahkan bejana-bejanamu di Museum Revolusi yang baru setengah jadi ini.
 


Pelukis yang Berakhir di Bali
 
Gunung tua yang ia gandrungi
sudah tak terlihat tua lagi,
hanya puncaknya yang ia selamatkan
ke hamparan barik birunya.
 
Tapi api di lembah masih menyala,
masih juga kobarannya menyusup
ke bawah kulit si perempuan
yang setia menyayati sarungnya.
 
Dan kilau selat yang memisahkan
pulau ini dan pulau moyangnya
ia biarkan mengarus bebas
di antara jari-jemarinya.
 
Jika matanya seperti buta
ketika ia berpaling ke samudra,
itu tandanya hitam sedang terpalit
lepas dari sisa insomnia.
 
Kadang bumi memberinya
sepucuk gading bening,
yang segera ia hunjamkan
ke pusar sang dewi.
 
Ia hampiri tubuh telanjang itu,
yang selalu saja lepas dari kuasnya,
lalu dengan lingkar hijau semenjana
ia halau sang wajah ke tamansari.
 
Di antara kerut kulit pohon kepuh
dan rerata bata aling-aling,
selalu ada sebersit garis Lempad
yang tak pernah dikuasainya.
 
Padma yang mengorak sendiri
tengah malam di bidang kanvas
sungguh tak pernah dilukisnya,
kembang putih kematian.