Peta Buah-buahan

Rio Johan

Artwork by Eunice Oh

DI KOORPORASI HAYATI, pernah ada seorang insinyur mabuk. Dia disebut demikian karena memang betulan suka mabuk dalam artian yang paling hariafiah. Tapi mabuknya bukan mabuk minuman keras; dia tak suka minuman keras sama sekali, Insinyur yang satu ini mabuk oleh buah-buahan karyanya sendiri. Betul, satu-satunya buah yang bisa lahir dari tangan-tangannya adalah buah yang bisa membuat siapapun yang memakan mabuk; jelas sekali bukan karya yang diinginkan oleh Korporasi.
           
Suatu hari, utusan dewan utama Korporasi Hayati mendatanginya, menyampaikan ultimatum untuknya: bahwa kalau dalam hitungan tiga bulan ke depan dia tetap tak bisa menghasilkan satu saja varian buah yang bagus, bermutu, setidak-tidaknya layak untuk dilemparkan ke pasar publik, mau tidak mau, suka tidak suka, dia harus angkat kaki dari Korporasi.
           
Sang insinyur jelas tidak sudi membayangkan dirinya hidup di jalanan sebagai pemabuk gembel; lebih-lebih dengan botol minuman keras di kedua tangan! Maka segera saja dia habiskan minggu pertamanya merancang, merancang, dan merancang; sebisa mungkin dia hindari formula-formula, rumusan-rumusan, persamaan-persamaan, jalur-jalur, dan semua kecenderungan-kecenderungan yang biasanya akan mengantarkannya pada hasil buah memabukkan; tidak gampang, tapi toh pada akhirnya dia berhasil juga. Minggu-minggu selanjutnya dia lanjutkan upayanya dengan menguji-coba tanam beberapa bibit rekayasanya, dan sebelum minggu kedua bulan ketiga, dia sudah berhasil mendapatkan tiga jenis buah yang dirasanya pas, yah, bukan sebuah mahakarya untuk standar Korporasi, tapi setidaknya, dia yakin, cukuplah untuk memuaskan para dewan.

Dia puas.

Dia ingin beristirahat sebentar dan selagi beristirahat dia tergelitik untuk sedikit saja mabuk, tidak perlu mabuk total, separuh mabuk saja cukup, atau seperempat mabuk, toh sudah tiga bulan lamanya dia menabahkan diri menjauhi mabuk. Tapi sialnya dia sudah membuang semua buah-buahan mabuknya, tak ada satupun yang tersisa. Merancang dan menanam buah mabuk baru akan butuh waktu lama, dia tak sanggup menunggu; tapi dia bisa memanipulasi buah biasa menjadi buah memabukkan. Maka, dia ambil saja satu dari buah-buah yang sudah disiapkannya untuk koorporasi: satu buah hasil rekayasa antara anggur sultana, delima, dan ara sikamora. Dia utak-atik sedikit buah tersebut: dia campur ini-itu-ini-itu, dia suntik di sana-sini-sana-sini, dan voilà!, jadilah satu buah mabuknya. Dia makan dengan lahap buah tersebut. Dia kedipkan matanya beberapa kali, dia sudah seperempat mabuk. Atau seperlima? Atau seperenam? Kurang cukup rasanya, dia ambil satu buah lagi, satu buah lagi, satu buah lagi, lagi, lagi, dan lagi . . .

Dia sudah sembilan per sepuluh mabuk ketika menyadari sudah tak ada lagi buah yang tersisa dari tanaman rekayasanya. Habis sudah dirinya. Apa yang akan dia persembahkan pada dewan utama? Dia cuma punya dua minggu dari sekarang! Bodohnya! Dia menggeleng-geleng keras kepalanya, mencoba memacu satu per sepuluh kesadarannya yang masih tersisa untuk berjuang; dengan sisa satu per sepuluh kesadaran itulah tangannya kemudian mulai bekerja, mulai merancang-rancang, mengutak-atik mesin-mesin mutakhir dan perangkat-perangkat rekayasa, mencampur-campur cairan-cairan dan ramuan-ramuan . . . sembilan per sepuluh dirinya yang sudah mabuk membuatnya kesulitan bergerak tepat dan berpikir jernih, tapi dia harus jalan terus . . .

Hari yang ditunggu-tunggu—atau tepatnya yang ditakut-takutkan—sang inisinyur pun tiba. Beberapa anggota dewan utama mendatangi laboratorium kerjanya dan dengan berat hati dia katakan bahwa dia gagal memenuhi permintaan Korporasi, dia juga memohon agar diberikan keringan, barang dua bulan saja, atau satu bulan, atau setidaknya dua minggu.

“Tiga bulan saja Anda sudah gagal, apalagi dua minggu,” seru seorang anggota dewan utama.

“Mulai sekarang Anda bukan lagi bagian Korporasi Hayati,” tegas anggota yang lain.

Tak ada lagi kesempatan bagi pengemis mabuk. Hari itu juga dia pun ditendang keluar dari tempat kerjanya (ini harafiah sebab dia merengek dan meronta untuk tetap tinggal dan petugas keaman pun harus dikerahkan untuk betul-betul menendang pantatnya keluar).

Kira-kira dua bulan kemudian, ketika sang insinyur-mabuk baru saja pulang dari pertemuan anonym para pemabuk yang tengah secara rutin diikutinya, seseorang sudah menunggu di depan gedung apartemennya. Dia kenal seragam kerja itu, itu orang Korporasi. Orang tersebut membawakan pesan singkat: bahwa Korporasi Hayati menginginkan sang insinyur kembali.

“Perlu apa lagi Korporasi memanggilku?”

Orang suruhan itu tidak punya jawabannya. Maka sang insinyur menyetujui ikut dengannya. Di hadapan para dewan sebisa mungkin menahan dirinya untuk tidak terlihat atau terdengar marah, lantas dia lemparkan pertanyaan yang sama.

“Anda masih ingat tanaman itu?” salah satu anggota dewan mengangkat jari telunjuk. Dan sang insinyur melihat di ruangan itu ada satu tanaman, satu pohon yang tingginya hampir dua kali tubuhnya, daun-daunnya panjang-panjang tapi tak lebat, buah-buahan juga bergelantungan pada ranting-rantingnya. Dia mendekat dan dia simak pohon tersebut lebih seksama, rasa-rasanya dia kenal, rasa-rasanya dia pernah lihat—mungkin tidak buahnya, tapi bentuk daunnya, bentuk pohonnya, bentuk batangnya . . . di mana dia pernah melihat tanaman itu?

“Anda masih belum ingat tanaman itu?” tanya anggota dewan yang sama, kali ini diikuti dengan satu seringaian lebar, jelas-jelas tengah mengejek tapi sang insinyur tak tahu persis apa yang sedang diejek darinya.

“Tanaman itu kami temukan di laboratorium Anda di hari yang sama ketika Anda meninggalkan Korporasi Hayati.”

“Tunggu dulu, Bung, tunggu dulu! ‘meningalkan Korporasi Hayati’ katamu . . . ,” belum sempat melanjutkan protesnya, ingatan yang dicari-cari sang insinyur tiba-tiba kembali. “Hei, itu tanaman . . . ya itu tanaman itu! Itu tanaman yang kubuat ketika aku mabuk. Hahaha. Bung, kau tertarik dengan hasil karya orang mabuk?!!”

Seketika para dewan berkasak-kusuk, berbisik-bisik di antar mereka sendiri, dan tak lama kemudian salah satu dari mereka turun dab menyodorkan satu buah dari tanaman tersebut kepada sang insinyur. “Coba rasakan keistimewaannya, kekhasannya, kompleksitasnya, kemultirasaannya . . . ”

Sang insinyur pemabuk mengunyah dan menelan satu gigitan, kurang yakin, satu lagi, tiga kali. Dia angkat bahunya, “Bolehlah, bolehlah.” Sejujurnya, buah manapun tak akan nikmat baginya kalau tak mengandung khasiat mabuk. “Jadi kalian mau aku apakan buah ini?”

“Korporasi sudah mengupayakan berbagai cara untuk menggandakan tanaman ini, dari yang paling sederhana dan tradisional sampai yang paling canggih dan mutakhir, tapi tak ada satupun yang berhasil. Korporasi menyimpulkan Anda sendirilah yang barangkali menyimpan rahasia akan tanaman ini, maka dari itu Korporasi meminta Anda untuk membuka kunci rahasia tersebut; Korporasi meminta Anda untuk kembali berkarya di sini.”

“Bung! Tanaman itu kurancang ketika aku mabuk!”

“Kalau begitu mabuklah kembali,” sahut anggota dewa yang lain lagi, “Mabuklah kembali! Berkaryalah kembali sambil mabuk! Mabuklah dan berkarya! Atau apa pun yang Anda lakukan.”

“Heh, serius kau, Bung?”

“Mabuklah,” anggota dewa yang lain lagi menimpali, “tapi kali ini jangan lupa siapkan catatan agar kau punya jejak atas apa-apa saja yang kau rancang ketika mabuk.”

Sang insinyur geleng-geleng dan garuk-garuk kepala. Para dewan membujuk, membujuk dan membujuk—atau “menekan dengan bujukan” tepatnya—dan pada akhirnya dia pun menyerah: dia sanggupi tawaran Korporasi.
 


*

SANG INSINYUR-MABUK pun mabuk. Sebelum menelan buah-buahan pemabuk yang sudah dia siapkan sebelumnya, dia katakan pada dirinya sendiri berkali-kali: catat-tulis-catat-tulis-catat-tulis. Buku catatan dan pulpen sudah dia siapkan; di tiap-tiap sudut laboratoriumnya juga sudah dia letakkan pulpen dan kertas, kalau-kalau dia kesulitan mencari buku catatannya ketika mabuk.
           
Lantas dia makan buahnya, dan dia pun mabuk.
           
Dia terbangun siang esok harinya. Kepalanya berat dan pening, tapi dia tidak mabuk. Dia tidak ingat apa saja yang telah dia lakukan, dia bahkan tidak bisa mengingat apakah dia merancang dalam keadaan mabuk atau sekedar mabuk belaka. Dia lihat sekelilingnya. Di atas salah satu meja, tepat di samping salah satu instrument rekayasa yang rumit, dia temukan satu kotak besi berisi bibit baru. Bibit baru! Dia yakin itulah hasil mabuknya tadi malam. Dia sambar buku catatannya dan dia bolak-balik lembar-lembarnya: kosong melompong belaka. Dia meloncat kesana-kemari memeriksa tiap-tiap kertas di laboratoriumnya, dan pada salah satunya dia temukan catatan ini:



Si Manggis, yang terkenal paling menawan sekebun itu, menyadari ada yang ganjil dengan pasangannya, Nanas. Suatu hari dia buntuti Nanas, dan dia dapati pasangannya tersebut ternyata diam-diam telah berselingkuh dengan Apel, sahabat dekatnya sendiri. Tega-teganya, Apel! Padahal berdasarkan curhat-curhat dan gelagat Apel selama ini, Manggis meyakini sahabatnya itu jatuh cinta pada Pir. Ironisnya Pir sendiri sudah punya pasangan resmi, Bluberi. Meskipun demikian sudah bukan rahasia lagi kalau Pir sering selingkuh di sana-sini; Bluberi juga demikian, bedanya dia cuma selingkuh dengan satu orang, Salak. Banyak yang jatuh cinta dengan Salak konon karena kulitnya yang kasar dan keras, tanda-tanda eksotis untuk kebanyakan. Salak sendiri sebetulnya cuma punya satu perasaan pada seseorang, Jambu, yang sayangnya tidak membalas perasaannya. Jambu, pernah bercinta satu kali dengan Manggis; percintaan tersebut terus terkenang secara indah di kepala yang pertama, sayangnya yang kedua tak lebih menganggapnya sebagai cina satu malam belaka.
                  
Suatu hari muncul buah bernama Rumpulum, dan dia mengaku sebagai anak dari Manggis dan Nanas. Tapi Manggis tidak mau mengakui. Dan anak itu pun berubah pikiran dan mengaku sebagai hasil selingkuh antara Nanas dan Apel. Tapi Nanas bersumpah pada Manggis tak pernah melakukan apa pun dengan Apel. Rumpulum berubah lagi, kini mengklaim sebagai anak dari Apel dan Pir. Ini pun disangkah Pir dengan alasan mana mungkin dia mau bercinta dengan makhluk seperti Apel. “Mungkin anak Pir dan Bluberi?” Bluberi dengan sinis menjawab, “Heh, yakin kau bocah? Kau tahu Pir sudah bercinta dengan berapa banyak buah?” “Bagaimana kalau Bluberi dan Salak?” “Nah, kau tahu,” kata Bluberi lagi, “ini lebih masuk akal, sebab Salak bukan Pir: dia cenderung setia bercinta dengan satu buah dalam satu periode. Tapi biar kuberitahu, si Salak pernah main serong dengan perempuan lain selain aku; tahu siapa? Si Jambu.” “Jadi aku anak Jambu dan Salak?” “Coba tanya si Jambu!” Dan ketika Rumpulum menemui Jambu, jawaban yang didapatnya adalah: “Duh . . . aduh, duh, duh, Nak, kamu hasil percintaanku dengan Jambu dan Salak? Yakin kamu? Sebab aku juga pernah bercinta satu kali dengan Manggis. Bisa juga kamu anak aku dan Manggis kan? Sudah kamu tanya Manggis?”
           
Dan Rumpulum kembali menemui Manggis . . .
 


*
           
Sang insinyur-mabuk menanam bibit barunya. Beberapa hari kemudian, setelah bibit tersebut tumbuh menjadi pohon muda, tapi tampakan fisiknya berbeda jauh dari pohon yang diinginkan para dewan. Betapapun, dia bawakan tanaman tersebut kehadapan dewan utama bersamaan dengan catatan tersebut.
           
“Apa-apaan ini!” tak sampai satu menit setelah salinan-salinan catatan tersebut diserahkan, seorang anggota dewan sontak berdiri dan berseru. “Anda hendak mengolok-olok Korporasi?”
           
“Duh, Bung . . . maaf, Tuan-tuan Dewan Utama yang Terhormat, kalian minta aku merancang buah dan mencatat rancangan sambil mabuk; ya begitulah yang aku tulis ketika mabuk.”
           
“Tapi kami mau skema, kami mau algoritma,” anggota dewan di sudut lain ruangan ikut naik pitam, “kami mau cetak biru, kami mau rumus-rumus empiris, kami mau persamaan-persamaan, angka-angka, nilai-nilai! Ini: apa ini?!! Peta harta karun? Konstelasi buah-buahan? Apa yang bisa Korporasi lakukan dengan coretan omong-kosong ini?!!”
           
“Wah, boleh juga itu, Bung. Apa tadi? ‘Konstelasi’? Kalau kulihat-lihat, gambar burukku itu memang seperti konstelasi buah-buahan,” seloroh sang insinyur sambil menunjuk versi holografis coretan-cerotannya yang sudah diperbesar dua puluh kali lipat di tengah-tengah ruangan.
           
Merasa mustahil mengekstrak informasi lebih jauh dari pemabuk itu, para dewan memutuskan bahwa apa yang dihasilkan sang insinyur gagal. Betapapun bakal pohon yang telah dibawakan tetap akan diterima sebagai aset Korporasi.

Sang insinyur diberi kesempatan sekali lagi untuk merekonstruksi bibit buah misterius yang dulu dibuatnya. Dia mabuk kembali, sesuai dengan permintaan dewan korporasi, dan dia mulai merancang lagi. Kali ini, inilah catatan yang dia temukan di samping bibit ciptaannya:
 


Tersebab iri terhadap kulit Nektarin yang selulu mulis, licin dan kinclong, Persik memutuskan untuk menggosok-gosok kulitnya yang kasar dan berbulu halus: dia gunakan kertas ampas, dia tambahkan cairan-cairan, dan jadilah tubuhnya lebih cemerlah, menyerupai Nektarin. Nektarin sendiri, sebetulnya lebih kepengin menjadi Apel yang kokoh, kuat, dan dia pun mulai membungkus tubuhnya dengan lapisan-lapisan yang lebih keras. Apel tak henti-henti membayangkan dirinya adalah seorang Pir, dia selalu meniru gelagat dan gerak tubuh buah tersebut; sewaktu masih menjadi bakal buah dulu, tiap kali ditanyai, “Kamu mau jadi apel apa nanti: apel fuji, apel nona merah muda, apel smith, atau apel gala royal?”, dia akan menjawab, “Aku mau jadi pir.” Nah, buah-buahan lain boleh menduga kalau Pir kepengin menjadi buah Sidonia, tapi salah besar: dia justru mendambakan dirinya sebesar dan sebulat-sempurna Semangka, dan sebab itulah dia sering masuk dan bersemayam di dalam satu kerangka bulat besar yang berwarna hijau. Semangka lebih meras menjadi Melon justru lebih menyenangkan daripada dirinya; maka, lukis tubuhnya agar menyerupai buah idolanya. Nah, Melon sendiri suatu hari mengalami kecelakaan yang membuat kulitnya tergesek-gesek lantas menjadi cacat dan kasar, sejak hari itu juga dia menyimpan cemburu pada tetangganya, Belewah, yang setiap pagi menyambut sinaran matahari dengan kulitnya yang putih, bersih, licin, berkilau; untuk itulah Melon setiap hari membeli berbagai merek kosmetik pembersih, pelicin, dan pemutih. Sementara itu, Belewah malah merasa tubuhnya terlalu besar, dan mengkhayal-khayal andai dia punya tubuh mungil, ramping seperti Plum, pastilah dia bisa tampil lebih elegan, lebih menawan; berbagai macam cara sudah dia coba, dari aerobik, kalistenik, sampai angkat besi, berbagai ramuan sudah dia konsumsi, dari teh pelangsing, obat pembakar lemak, sampai pil-pil yang bisa membuatnya muntah tiap pagi dan sore hari, tak juga tubuhnya menyusut. Plum justru membayangkan alangkah indahnya menjadi Mirabel; meski secara teknis Mirabel sendiri salah satu varian dari Plum, tapi sudah bukan rahasia umum kalau Mirabel selalu memisahkan diri dari Plum, merasa dirinya varian yang paling prima, paling paripurna daripada plum-plum lainnya; apa daya . . . apa yang bisa Plum lakukan untuk merasakan menjadi Mirabel selain, tentu saja, menguntiti buah berkilit keemasan tersebut setiap menit, setiap detik? Mirabel? Di lubuk hatinya yang paling dalam, dia muak diperlakukan bak buah emas: anggun, elok, tapi juga rapuh dan lemah gemulai; dipuja-puji, tapi lembek dan lembut; kalau dia bisa memilih ingin lahir menjadi buah apa, dia akan jawab Ribes aureum alias Kuran Emas alias Pruterberi; Mirabel lebih suka nama yang terakhir tapi si empunya badan sendiri lebih suka dipanggil dengan nama yang kedua, apa boleh buat. Mirabel berteman baik dengan Kuran Emas dan tahu persis bahwa idola rahasianya itu sebetulnya tidak percaya diri dengan tubuhnya sendiri juga: dia pernah curhat kepengin sekali lahir menjadi Persik. Suatu hari, Kuran Emas melihat bintang jatuh dan mengutarkan apa yang dia inginkan itu; keesokan harinya ketika dia bangun, tubuhnya sudah berubah, tapi bukan menjadi Persik, melainkan satu buah asing, buah baru yang kalau dia pikir-pikir lumayan juga, lebih bagus daripada yang dia inginkan sebelumnya. Sejak itu juga Kuran Emas mengganti namanya menjadi Cerismos. Sebetulnya dia hendak memilih nama trelometaschimatismotousomatos, tapi buah-buahan lain protes karena terlalu panjang dan merepotkan. Apa boleh buat.
 
Beberapa hari kemudian sang insinyur-mabuk menghadap dewan utama Korporasi lagi, mempersembahkan bakal pohon yang sudah dari bibit yang dia dapatkan bersama dengan coret-coret mabuknya. Reaksinya yang dia dapatkan sama saja dengan sebelumnya, lebih parah malah: untuk yang kedua kalinya dewan Korporasi memberinya ultimatum, “Kalau sampai tiga bulan kemudian belum juga ada perkembangan yang memuaskan perihal varian yang Korporasi inginkan, dengan berat hati kami sampaikan bahwa Korporasi tak akan memerlukan jasa Anda lagi.”

“Bung ingat pernah bilang begitu dulu?”

“Kali ini tidak ada jaminan Korporasi akan memanggil Anda kembali.”

“Boleh tambah kata ‘mengemis’, Bung?”

Sang-insinyur mabuk tidak betul-betul merasa kecewa atau terancam mendengar ultimatum tersebut, tidak seperti yang pertama kali dulu; di kepalanya sejujurnya dia siap-siap saja kalau harus angkat kaki lagi dari Korporasi. Meski demikian, kembali ke laboratoriumnya, dia cukup serius memikirkan bagaimana caranya menemukan kembali rancangan yang dulu dibuatnya ketika mabuk. Dua bulan pertama dia lakukan dengan serius dengan kesadaran penuh, tanpa sekali pun menyentuh buah-buahan pemabuk. Tak satupun upayanya membuahkan hasil; dan dia tak punya banyak waktu lagi. Sebagai upaya terakhir, dia pun memutuskan untuk mereka ulang kembali apa-apa saja yang bisa dia ingat dari proses merancang tersebut (tentu saja yang dia ingat cuma mabuk, tapi kemudian dia mencoba mengingat buah apa yang dia gunakan untuk mabuk, cairan atau alkohol apa yang dia suntikkan ke dalam buah itu, berapa banyak buah yang dia makan, dan sebagainya).

Lantas, dengan sisa satu per sepuluh kesadaran, dia pun kembali bekerja. Inilah catatan yang dia temukan keesokan harinya:
 

 
Sang insinyur-mabuk tidak yakin dua bibit yang direkayasanya ketika mabuk akan menghasilkan vegetasi yang sama dengan yang diinginkan dewan utama. Betapapun dia tetap lanjut menanam, pasrah-tak-pasrah.
Dua pohon muda dan catatan amburadulnya kemudian dipersembahkan kepada dewan utama. Hasilnya, tak perlu ditanya: untuk yang kedua kalinya sang insinyur harus angkat kaki.
 
 
 
*

Sekian tahun setelah meninggalkan korporasi, sang insinyur-mabuk tetap menjadi pemabuk. Terapi dan pertemuan anonim yang diikutinya tidak membantu sama sekali. Karena pekerjaannya sekarang tidak memungkinkan untuk membeli bahan-bahan untuk menyulap buah biasa menjadi buah pemabuk, dia harus berpasrah dengan “mabuk murahan”—istilah yang dia pakai untuk “mabuk dengan minuman beralkohol murahan”.
           
Suatu hari seperti biasa dia pulang kerja menyusuri jalanan sambil menenggak satu botol bir murah—di tangannya yang lain, masih ada tiga botol lagi di dalam kantung plastik, menimbulkan bunyi klang-kling-klang-kling di sepanjang jalanan—dan suatu iklan holografis besar menarik perhatiannya: iklan buah-buahan baru dari Korporasi Hayati. Buah-buahan mewah. Aneh juga, otaknya yang mulai oleng berpikir, rasa-rasanya dia pernah melihat buah-buahan tersebut. Dia memutuskan berhenti dan menyimak iklan tersebut beberapa kali. Dia baca tulisan-tulisan holografis yang muncul keras-keras: “Rum-pu-lum! Ce-ris-mos! Yo-to dan Yok-ta!” Dia merasa tidak asing dengan nama-nama tersebut dan anehnya pikiran ini malah membuatnya terkekeh-kekeh keras.

Dia tinggalkan iklan tersebut dan lanjut bergerak menuju rumahnya. Sambil terus menenggak bir, dia terus coba berpikir di mana dia pernah bertemu buah-buahan tersebut? Di mana? Dia merasa harus memikirkan ini besok, ketika otaknya sudah pulih dari mabuk. Kalau dia ingat apa yang ada di otaknya ketika mabuk. Kalau dia tak lupa.

Dia habiskan botol bir di tangannya dan siap memulai satu botol baru.




For Dewi Kharisma Michellia

Saint-Julien-du-Sault, 13 September 2019


Click here for Lara Norgaard’s other translations from the archive.