dari Lebih Senyap dari Bisikan
Andina Dwifatma
Akhirnya kutulis lagi sesuatu untukmu, karena ada masalah besar, yang sesungguhnya terjadi akibat perbuatan Saliman. Kalau saja Baron tidak bertemu dia, mungkin saat ini keluarga kami masih utuh—tapi soal ini akan kuceritakan nanti.
Kau tahu aku dan Baron sedang berusaha memiliki anak. September lalu adalah ulang tahun pernikahan kami yang kedelapan, dan selama tiga tahun terakhir upaya kami memiliki bayi telah menjadi begitu ekstrim. Aku sangat obsesif dengan masa suburku, dan menolak bila Baron mengajakku berhubungan di hari-hari lainnya. Aku takut sperma Baron menghampiri telurku yang ternyata belum matang. Bagaimana bila ternyata sperma yang kecele itu justru yang memuat bakal calon bayi kami? Dan bagaikan mandor yang membuat jadwal shift untuk para buruhnya, kuatur jadwal kami berhubungan seks dengan teliti.
Menurut artikel di forum diskusi ibu hamil yang kukunjungi setidaknya tiga kali sehari (utas: Promil alias Program Hamil), bercinta kelewat sering justru tidak dianjurkan. Sperma membutuhkan waktu setidaknya tiga hari agar matang dan siap membuahi, dan itu tidak akan terjadi kalau dikeluarkan setiap hari. Karena perempuan mengalami masa subur pada hari ke-11 dan hari ke-21 dalam siklus menstruasi, Baron berusaha membuahiku di sepanjang siklus itu—dengan jeda setiap tiga hari. Jadwal ini kami jalani dengan kedisiplinan seperti tentara. Baron bahkan mulai menjawab, “Siap, Ndan!” setiap kali aku mengabarinya hari itu adalah jadwal kami membuat anak.
Di antara tawa kami, aku sebenarnya dapat meraba adanya rasa frustrasi.
Aku tidak tahu apakah Baron juga mengunjungi forum diskusi bapak-bapak dan apakah di forum tersebut juga ada thread Promil. Yang aku tahu, seks di antara kami telah menjadi tidak keruan. Sulit sekali untuk berfantasi hal-hal mesum yang membikin terangsang kalau di kepala kami hanya terbayang bayi. Aku tidak lagi menikmati berciuman dengan suamiku, atau menghabiskan waktu bermain-main dengan penisnya yang kujuluki ‘Kamerad’ karena agak bengkok ke kiri, atau mengagumi senyum Baron yang menciptakan kerutan di sudut-sudut matanya—tidak ada waktu. Aku sibuk menghitung masa subur dengan aplikasi di ponsel, memastikan kami berhubungan seks pada waktu yang tepat, dan setiap Baron berejakulasi aku buru-buru menyandarkan kedua kaki di tembok agar spermanya dapat masuk ke rahimku secara maksimal.
Kalau kau sudah menikah lebih dari 1 tahun dan belum hamil-hamil juga, kau akan mulai menjadi bintang di acara keluarga.
“Kok belum jadi juga sih? Kurang ahli ‘kali bikinnya?”
“Program saja di dokter, atau mau langsung bayi tabung?”
“Sudah cek belum? Jangan-jangan Baron nih, yang bermasalah.”
“Kalian kurang sedekah.”
“Angkat anak aja buat pancingan.”
“Masa kalah sama Dika dan Megan? Mereka anaknya udah dua.”
“Baca surat ini deh, lima belas kali sebelum tidur dan waktu bangun.”
“Surat ini juga, ditulis di kertas, kertasnya dicelup, airnya diminum.”
“Minum madu juga.”
“Kamu enggak usah kerja dulu deh, barangkali kecapekan.” Kalimat terakhir ini tentu saja untukku.
Lima tahun awal diberondong komentar masyarakat, kami masih bisa cengengesan. Anak memang tidak pernah menjadi pembahasan utama kami. Baron dan aku menikah terlalu muda (setidaknya menurut standar kami sendiri) sehingga tentu saja kami ingin menikmati waktu berdua. Pekerjaanku di perusahaan humas multinasional membawaku ke tempat-tempat yang menarik, sementara Baron bekerja sebagai senior procurement manager di sebuah perusahaan aki.
Hari-hari kami sempurna seperti di film-film drama keluarga. Sebuah rumah mungil dengan dapur yang cantik dan beranda. Taman kecil di halaman belakang tempat ngobrol sore-sore tiap akhir pekan. Setiap pagi aku memasak sarapan, kami makan bersama, lalu pergi kerja tepat jam tujuh. Kantor kami berdekatan. Baron akan mengantarku duluan dan pulangnya aku naik taksi ke kantor Baron yang searah dengan rumah. Malamnya giliran Baron yang memasak sementara aku menonton series atau reality show favoritku. Setelah makan kami minum anggur atau kopi sambil berbincang, dan kalau mood datang, bercinta. Sebulan sekali kami menyusuri lorong supermarket sambil berdebat tentang merek sereal mana yang lebih renyah, sosis mana yang lebih terasa dagingnya, atau sabun mandi mana yang paling harum.
Tiap kali kami membicarakan tentang anak, perbincangan itu selalu lebih merupakan angan-angan daripada rencana, semacam bucket list berisi hal-hal yang kau bilang akan kau lakukan tapi tidak tahu kapan. Baron dan aku sering melontarkan kalimat-kalimat seperti,
“Anak kita nanti harus dididik suka olah raga dari kecil. Jangan kayak kamu, disuruh lari pagi saja susah banget.”
“Kalau anak kita perempuan dia harus suka baca buku tapi juga pintar dandan. Ngapain pilih salah satu?”
“Kalau anak kita laki-laki dia harus bisa bertukang, tapi juga masak dan beres-beres.”
Tetapi, tiap kali teman-teman kami membatalkan janji nongkrong atau liburan karena anak mereka sakit, atau tantrum, atau perlu ditunggui belajar, atau mendadak muntah di perjalanan, Baron dan aku akan berpandangan dan aku tahu kami memikirkan hal yang sama: betapa nyamannya hidup kami berdua. Seluruh waktu kami adalah milik kami sendiri, tanpa raja-raja kecil yang mendikte kapan kami bisa tidur atau pergi ke kafe atau nonton konser. Betapa mewahnya bisa sarapan pagi dengan tenang dan minum anggur sambil leyeh-leyeh di bangku taman setiap malam. Kami juga bisa membelanjakan uang dengan agak ceroboh untuk membeli hal-hal yang tidak penting tapi membuat senang, seperti koleksi mobil-mobilan dan sepatu Baron, atau koleksi tas untukku. Dalam perencanaan keuangan kami tidak pernah terselip pos untuk pendidikan anak.
Di kantor aku pernah mendapat klien lembaga internasional yang mengurusi masalah lingkungan. Akibat riset yang kukerjakan, pikiranku diberondong dengan bencana sampah, bahaya krisis air, ancaman kepunahan umat manusia karena nuklir, dan hal-hal seram lain yang membuatku yakin dunia akan segera berakhir. Seorang ilmuwan meneliti kandungan air dalam sistem pembuangan limbah di London, dan menemukan konsentrasi amphetamine, methamphetamine, kokain, dan ekstasi yang sangat tinggi di Sungai Thames. Air seni dan tahi begitu jujur. Saluran pembuangan bagaikan buku harian yang menceritakan bagaimana manusia modern gemar mengunyah obat-obatan seperti kacang asin. Dunia menuju kehancuran dan manusia semakin sulit berbahagia.
Semakin dipikirkan, semakin aku enggan mendatangkan satu jiwa tak berdosa ke muka bumi ini. Aku sendiri tidak yakin dapat menjadi ibu yang baik. Kau tahu aku sering ruwet dengan pikiranku sendiri, tidak sabaran, dan punya bakat mencari-cari masalah tiap kali hidup terasa terlalu tenang. Alangkah kasihannya anakku nanti. Jika dia tidak puas denganku, dia tidak bisa menukar-tambahku dengan ibu lain yang lebih baik, atau memintaku mengundurkan diri.
Tahun demi tahun berlalu dan kalenderku semakin penuh dengan undangan baby shower, ulang tahun, dan akikah. Keranjang belanjaku di marketplace pelan-pelan tak lagi terisi make up atau tas desainer, melainkan piyama bayi aneka warna (merah muda bergambar unicorn atau biru bergambar logo klub sepakbola), peralatan makan mungil berwarna cerah dan bebas BPA, atau stroller yang kupilih setelah membandingkan review di lima situs berbeda. Setiap selesai menghadiri acara perbayian, aku segera membuka Facebook dan menjempoli semua foto yang ditautkan ke akunku. Kutelusuri wajah bayi-bayi itu, sesekali menge-zoom jari-jari mungil yang tergenggam membentuk kepalan dan mata yang terpejam. Kuingat betapa harumnya bau kepala mereka dan hatiku berdenyut dipenuhi kerinduan.
Di salah satu foto aku sedang menggendong seorang bayi yang bergelung nyaman dalam selimut lembut, mirip burrito raksasa. Di kepalaku, burrito itu berisi bayiku sendiri, seorang bayi perempuan bernama Zooey atau Chloe, yang tubuhnya menguarkan aroma minyak telon bercampur manis vanila.
Zooey/Chloe nantinya tumbuh menjadi gadis cilik berkuncir dua. Manis, tapi galak pada cowok-cowok. Dia bersekolah di SD dekat rumah, berenang dan menari di akhir pekan. Di SMP, Zooey/Chloe patah hati pertama kali dan kami berbincang semalaman sambil berbagi seember es krim coklat, obat terbaik untuk kisah cinta yang tak bahagia. Zooey/Chloe lalu kuliah ke luar negeri dengan beasiswa dan kami mengobrol setiap tiga hari sekali lewat panggilan video. Zooey/Chloe bercerita tentang studinya, apartemennya, teman-teman kuliahnya, dosennya, dan pacarnya, si calon arsitek yang tampan meski tidak setampan Ayah (di sini Baron tersenyum ge-er). Lalu Zooey/Chloe menikah, punya anak, dan aku jadi nenek. . . kupandangi gambar itu berlama-lama dan tersenyum-senyum seperti ABG jatuh cinta.
Di foto lainnya aku tengah berpose di acara baby shower teman kantor. Meski kami semua mengelilingi si ibu hamil dengan pose dan senyum yang serupa, aku tampak menonjol sebagai si paling langsing dan paling mulus, tanpa kantung hitam di bawah mata dan lemak ekstra di bagian pinggul. Aku si paling modis dengan tas Birkin alih-alih tas popok atau gendongan—seperti ornamen yang salah tempat.
Rumah kami pun terasa semakin sepi. Aku dan Baron semakin sering menghabiskan waktu luang sendiri-sendiri karena rasanya tidak ada lagi yang bisa diperbincangkan. Aku berkutat dengan televisi, dan Baron main game sepakbola di komputernya. Kadang kami memaksakan diri menonton film bersama, tapi setelah bersusah payah menemukan judul yang kami sama-sama suka (Baron suka genre horor sedangkan aku tidak paham di mana logikanya membayar-untuk-ditakut-takuti), suamiku biasanya jatuh tertidur di tengah-tengah film. Aku mematikan teve dan pergi ke kamar sementara Baron terlelap di sofa hingga pagi.
*
Satu tahun kemudian baru kusadari bahwa tekad saja tidak cukup untuk punya anak. Dari seratus juta sperma yang dikeluarkan suamiku setiap kali dia berejakulasi, tidak ada satu pun yang berhasil menempel ke sel telurku. Aku tidak tahu siapa yang salah, sel telurku yang terlalu jual mahal ataukah sperma Baron yang terlalu malas berenang.
Aku dan Baron sudah menelan berbagai macam pil, vitamin, menjajal tusuk jarum, makan kurma, minum telur mentah dicampur jintan hitam dari Arab (obat dari segala penyakit—kecuali kematian), bereksperimen dengan macam-macam posisi hubungan seks, membasuh kelamin dengan air dingin, air hangat, air dingin campur cuka, air hangat campur cuka, air kembang yang dicelup kertas doa. . . pokoknya semua saran yang bisa kami temukan di forum internet maupun nasihat orang-orang tua. Aku bahkan berhenti bekerja.
Suasana rumah menjadi tegang karena aku mulai uring-uringan. Aku memprotes kebiasaan Baron merokok, hobinya begadang, keengganannya makan sayur, kemalasannya berolahraga, pendeknya gaya hidup yang sebenarnya sudah kuketahui dan kuterima sejak kami masih pacaran. Dalam upaya menurunkan tensi di rumah, Baron menurutiku. Dia berusaha keras tidur maksimal jam sebelas malam, bangun pukul enam pagi, mengambil sepatu dan lari keliling kompleks bersamaku. Dia juga berhenti merokok (di rumah). Buah-buahan yang kuiris dan kusimpan rapi dalam kotak makanan di kulkas dia kunyah satu-dua potong. Tapi perubahan ini hanya bertahan dua minggu. Begitu periode uring-uringanku berakhir, Baron kembali ke kebiasaan lamanya.
Aku lalu menyerah mengatur Baron dan berkonsentrasi mengurus tubuhku sendiri. Usiaku 33 tahun sekarang, agak terlalu tua untuk menjadi ibu dalam ukuran orang Indonesia, tapi secara biologis belum terlambat. Telur-telurku masih sehat dan rahimku masih kuat. Menurut dokter kandungan, aku juga belum memasuki ‘periode rawan’, yaitu para ibu yang hamil anak pertama di usia 40 tahun ke atas. Konon mereka lebih berpotensi melahirkan bayi dengan gangguan fisik dan/atau mental.
Di akhirat nanti, kalau aku ketemu Tuhan, akan kutanyakan kenapa Dia bikin tubuh perempuan seperti makanan kaleng. Kubayangkan di bawah pusar atau pantatku ada tulisan: Best Before: Mei 2026.
Dalam sebuah forum ibu hamil yang sering kukunjungi, ada seorang perempuan yang sudah menikah lebih dari satu dekade dan sangat mendambakan anak. Suatu kali, dia memutuskan mencoba diet food combining alias memadukan makanan. Inti dari diet ini adalah mengatur kombinasi menu makan siang dan makan malam: karbohidrat dengan sayur; atau protein dengan sayur (saat sarapan hanya boleh makan buah). Karbohidrat tidak boleh dimakan berbarengan dengan protein karena keduanya membutuhkan enzim yang berbeda untuk dicerna. Konon segala jenis penyakit lambung, seperti kembung, perut bergas, dan konstipasi, berasal dari kebiasaan yang salah ini. Setelah satu bulan, perempuan tadi turun berat badan, kulitnya lebih halus, dan akhirnya berhasil hamil.
Setiap pagi aku melumatkan aneka buah sambil berharap nasibku akan sama seperti perempuan itu. Makan siang dan makan malamku kuatur sedemikian rupa. Kalau saat makan siang aku kepingin daging, aku tidak makan nasi. Dan kalau makan malam aku kepingin nasi, aku tidak makan daging. Kuhitung setiap kalori makananku dengan hati-hati. Vitamin asam folat kuminum setiap hari tanpa terlewat, kadang kutambah vitamin E dan zat besi. Kubayangkan tubuhku seperti sebuah rumah yang sedang dibersihkan, perlahan-lahan bersiap dihuni. Baron tidak berkomentar apa-apa mengenai diet ini, tapi dia meringis saja kalau kutawari membawa bekal.
Dengan sabar kutandai setiap masa subur yang terlewat. Kutandai juga masa subur di bulan berikutnya. Kucatat berapa panjang siklus bulananku, dan berapa lama variasi jeda dari bulan ke bulan. Siklus menstruasiku ternyata tidak serapi yang kukira. Kadang jeda 29 hari, kadang lebih dari 30 hari, kadang tak lebih pendek dari 25 hari. Aku membeli alat pendeteksi kesuburan yang menggunakan air liur. Bentuknya seperti lipstik tapi ujungnya bulat, mirip teropong kecil. Cara pakainya: oleskan alat di bagian dalam pipi, tunggu sejenak, lalu lihat pola yang terbentuk. Apabila pola yang terbentuk terlihat ruwet dan rapat, berarti aku sedang subur. Kalau renggang, berarti sebaliknya.
Kadang aku kesulitan sendiri menentukan pola yang terlihat; apakah rapat atau renggang? Ruwet atau masih tampak sederhana? Kucoba menggambar pola-pola yang muncul agar lebih mudah membacanya, tapi usahaku sia-sia karena setiap pola terlihat berbeda.
Pada pertengahan tahun kedua program hamil, mensku sempat terlambat seminggu. Aku dan Baron girang bukan kepalang. Baron membeli lima buah alat tes kehamilan, dari mulai yang digital seharga 120 ribuan sampai yang berbentuk strip dan dikemas dalam kardus bergambar mawar merah seharga seribu lima ratus rupiah. Aku memutuskan mencoba dari yang termurah dulu. Kalau hasilnya negatif, aku bisa bilang akurasinya kurang bagus dan mencoba lagi dengan alat yang lebih mahal.
Pagi itu aku mengeluarkan testpack dari kotak yang tipis, membuka celana dalam, duduk di toilet, dan menampung air kencingku dengan sloki bekas yang ujungnya rompal. Lalu, masih duduk di toilet dengan celana dalam melorot ke bawah, dengan hati-hati kucelupkan kertas kecil berbentuk batang itu ke dalam sloki. Kutunggu lima detik. Lalu sepuluh detik. Lalu lima belas detik. Aku tak berani mengintipnya.
Kutarik napas, dan. . .
. . . satu garis merah. Aku menahan tangis.
Selama lima hari berturut-turut aku memakai semua alat tes kehamilan yang dibelikan Baron. Selama itu pula mensku tidak datang. Di pagi kelima, ketika alat tes kehamilan digital (pertahanan terakhirku) lagi-lagi mengabarkan bahwa aku tidak hamil, alat itu kulempar ke Baron yang sedang tidur. Dia bergeming. Lalu empat testpack yang lain kulemparkan juga ke arahnya, berikut pakaian kotor, deodoran, minyak kayu putih, bedak, gayung, apapun yang bisa kuraih. Baron tergeragap bangun lalu bergegas memelukku yang menangis tersedu-sedu. Siangnya, aku mens. Dokter kandungan bilang aku terlalu stres sehingga jadwal mensku mundur hampir dua minggu. Ini hormonal saja, Pak. Entah kenapa dia bicara kepada Baron, bukan kepadaku. Tolong Ibu dijaga agar tidak terlalu tegang.
Peristiwa itu membuat Baron jadi lebih perhatian kepadaku. Rita, kakak perempuan Baron, jadi rajin menelepon dan berbagi jenis makanan yang bagus untuk upaya hamil: tumis tauge, pisang, telur, kacang almond, dan jeniper alias jeruk nipis peras. Baron membelikanku aneka macam vitamin impor yang harganya membuatku mengernyitkan kening. Limpahan perhatian ini mengesalkanku. Aku merasa gagal dan orang gagal tidak selayaknya malah mendapat hadiah. Orang gagal pertama-tama harus dihina, lalu dilecut agar bangkit.
“Amara,” kata Baron hati-hati. Aku sedang membaca buku di taman, menunggu maghrib. Akhir-akhir ini Baron lebih sering nongkrong di ruang kerjanya sampai pagi, pada akhir pekan sekali pun. Dalam keadaan normal aku tentu akan merajuk, memintanya menyediakan waktu lebih untukku, tapi akhir-akhir ini aku seperti kena sembelit perasaan. Ketika Baron hendak mencium keningku, kupalingkan wajah. Dia tampak terluka dan untuk sesaat aku merasakan kepuasan yang aneh.
Baron mengangkat bahu, lalu menarik kursi dan duduk di sebelahku. “Aku mau ngomong sesuatu, boleh?”
Aku menandai halaman dengan pembatas buku. “Ada apa, Ron?”
Baron mengusap-usap hidungnya seperti orang yang gagal bersin. “Menurutku sudah waktunya kita tes kesuburan.”
Kupandangi suamiku dan wajahnya langsung memerah.
“Aku tahu sejak awal kita menghindari tes ini karena tidak mau terbebani jika ada vonis yang tidak enak,” kata Baron buru-buru. “Tapi kita sudah masuk tahun kedua, Mar. Sudah cukup lama kita mencoba.”
Aku terdiam.
“Apa pun hasilnya, aku akan terima. Semoga kamu juga begitu.” Baron menyentuh kepalaku sekilas.
“Termasuk kalau aku mandul?” Tanyaku.
“Termasuk kalau aku mandul?” Baron membeo.
Aku tersenyum. Baron meringis. Kami berpelukan.
Dua minggu kemudian, hasil tes keluar. Kami berdua sehat. Sperma Baron tidak terlalu malas berenang dan sel telurku rupanya tidak jual mahal—mereka hanya belum ketemu.
Hasil ini membuat Baron bersemangat, tetapi justru membuatku semakin bersedih. Aku mungkin lebih bisa menerima jika ada yang salah dengan kami berdua, atau salah satu dari kami, sehingga kegagalan-kegagalan selama dua tahun terakhir bisa dijelaskan. Selama ini aku juga tidak mengkonsumsi pil KB atau obat-obatan lain yang bisa mengacaukan hormon. Fakta bahwa kami berdua sehat tapi aku tidak kunjung hamil membuatku merasa kurang beruntung. Sperma yang malas berenang dan telur yang tidak matang bisa diobati, tapi nasib buruk tidak bisa diapa-apakan.
Gairah seksku menurun drastis. Aku masih senang melihat wajah ganteng aktor-aktor film yang kutonton, tapi tidak pernah lagi kubayangkan mereka dalam fantasi yang mesum. Pernah saat Baron tidak di rumah, kutemukan potongan klip pria sedang beronani. Penisnya besar dan pria itu terlihat seksi dengan tubuhnya yang atletis dan celana pendek yang melorot hingga ke paha. Aku mencoba bermasturbasi dengan bantuan klip itu tapi setelah satu menit, aku menyerah. Yang terlintas di pikiranku hanya apakah sperma yang keluar dari penis itu bisa menghasilkan anak.
Aku tidak tahu apa yang dilakukan Baron untuk mengatasi embargo seks yang tak disengaja di antara kami, tapi aku pernah satu kali memergoki ponselnya yang tak dikunci sedang memutar video mesum. Pernah pula ia lupa menyiram spermanya yang masih menggenang di kloset. Bisa jadi dia sengaja. Mungkin Baron ingin menyalahkanku karena tidak memenuhi hasratnya dengan baik. Mungkin Baron ingin menunjukkan bahwa ia masih memiliki gairah, bahwa ia tidak melihat perempuan telanjang dan berpikir apakah perempuan itu bisa hamil atau tidak. Sementara bagiku, semua penis di dunia ini, sebesar dan sekeras apa pun, tidak ada artinya jika tidak bisa menghamili.
Tetapi Baron dan aku masih saling bicara. Kami berdiskusi soal pekerjaannya, pekerjaanku, Rita, dan teman-teman kami. Hubungan kami seperti dua orang yang kebetulan tinggal seatap. Baron mulai lebih sering menghabiskan malam di kamar kerjanya dan aku seorang diri di kamar tidur. Kami tidak lagi membicarakan soal kehamilan dan keinginan untuk memiliki anak. Aku tidak tahu bagaimana perasaan Baron. Yang aku tahu, keluarga dan kenalan kami, baik di kehidupan nyata dan di media sosial, lebih sering menyemangatiku, bukan Baron. Kalau ada resep jus atau obat atau makanan atau vitamin atau apa pun itu yang konon manjur untuk kehamilan, mereka akan memberitahuku, bukan Baron. Kalau mereka ingin berbasa-basi setelah lama tidak ketemu, mereka akan bertanya,
“Amara sudah isi belum, nih?” Sambil memegang perutku.
Tapi tidak ada yang memegang penis Baron sambil bertanya, “Baron sudah berhasil menghamili belum, nih?”
Barangkali inilah mengapa aku merasa perjuangan hamil sebagai saat-saat paling sepi dalam hidupku. Rasanya aku sendirian mengejar sesuatu yang tidak pasti. Meski demikian, aku masih menyayangi Baron. Kalau aku sedang sentimentil dan membayangkan masa depan yang indah aku selalu memikirkan dia. Kubayangkan ekspresi bahagia Baron jika suatu saat nanti aku bisa memberinya testpack bergaris dua. Kubayangkan para kenalan memberi kami selamat. Kubayangkan mengundang teman-temanku ke acara baby shower, akikah, dan ulang tahun anakku. Kubayangkan menggandeng Baron dan berjalan-jalan di sekitar kompleks perumahan dengan perut besar dan setiap orang yang melihatku akan tersenyum: lihatlah, perempuan itu akan menjadi seorang ibu, betapa bahagianya.
(Karena itukah aku ingin punya anak? Agar aku bisa bilang bahwa aku sudah menjalankan peran utamaku sebagai perempuan? Agar aku bisa menggenapkan tugas tubuhku yang dirancang untuk melanjutkan kehidupan? Agar aku bisa pergi ke acara keluarga atau reunian tanpa merasa tersakiti lantaran terus-terusan ditanya ‘kapan?’, ‘kapan?’)
Memasuki tahun ketiga, aku mulai pandai menerima nasib. Barangkali menjadi ibu memang bukan untukku. Mungkin Tuhan tahu aku akan menjadi ibu yang payah dan Dia mengasihani calon anakku sehingga mencarikannya rahim yang lain, rahim perempuan yang lebih pantas. Waktu aku kecil ada tetangga kami yang tidak punya anak, sepasang kakek-nenek dengan dua belas ekor kucing di rumah mereka. Mbah Raji, si kakek, pensiunan tentara dan Uti Ani, si nenek, bekas guru TK. Mbah Raji tinggi tapi agak bungkuk. Matanya lebar dan rambutnya keperakan dan dia hampir selalu mengenakan sarung. Saat duduk menonton TV, bagian depan sarung Mbah Raji selalu menjuntai ke depan dan aku dan teman-teman bergantian mendudukinya, berpura-pura itu ayunan, membuat kakek tua itu terkekeh. Lalu Uti Ani akan datang membawa nampan berisi es krim dan permen susu yang kenyal dan membuat gigi geligi kami lengket.
Rumah Mbah Raji dan Uti Ani mungil dan berbau minyak angin serta biskuit yang sudah agak tengik, tapi sampai sekarang aku mengingatnya dengan hati hangat. Aku berhenti datang ke rumah Mbah Raji hanya setelah Toni, tetanggaku yang tinggal kelas dua kali, menyodok perut salah satu kucing yang baru melahirkan. Si kucing mengamuk, lalu mencakar benda terdekat—aku, sementara si penjahat sudah duluan lari tunggang-langgang. Kusentuh bekas cakaran ibu kucing yang memanjang di bagian dalam lengan kiriku. Mungkin aku dan Baron nanti bisa seperti Mbah Raji dan Uti Ani, menjadi kakek-nenek bagi anak-anak sekampung. Aku akan memanggang kue-kue dan Baron sepanjang hari memakai sarung.
“Ron, lihat deh,” aku menyorongkan layar laptopku. “Louis Signore, nenek-nenek umur 107 tahun dari New York. Salah satu orang tertua di dunia.”
“Resep umur panjangnya adalah,” Baron membaca, “. . . jauh-jauh dari laki-laki dan pernikahan.”
Aku nyengir. “Kok aku baru baca artikel ini sekarang, ya?”
Baron mengetik sesuatu di laptopku, lalu tersenyum penuh kemenangan. “Nih, biaya pengacara kasus perceraian.”
“Itu nol-nya enggak kelebihan satu?”
Aku dan Baron mulai mengobrol dengan lebih rileks. Kadang kusentuh bahunya atau kupeluk dia sekilas ketika dia sedang bekerja. Aku juga lebih santai menikmati aktivitasku di rumah. Kalau tidak sedang memasak atau berolahraga, aku membersihkan rumah. Setelah Baron berangkat ke kantor, aku mulai dengan mencuci baju. Hari itu kucuci pakaian berwarna lebih dahulu. Kutuang pakaian kotor, deterjen cair, dan kupencet tombol START. Mesin cuci memperdengarkan nada khas, mulai mengisi air hingga batas tertentu, lalu mulai mengaduk-aduk isinya. Busa mengambang di permukaan. Terdengar suara brrrr brrrr brrrr, mekanis dan sistematis.
Aku kembali ke dapur, meneguk kopi dan mulai menyiapkan makan siang sederhana. Kukeluarkan daging dari kulkas, tauge, dan paprika. Daging kuiris tipis-tipis dan kubumbui dengan garam, lada, dan ketumbar bubuk. Aku menyetel musik klasik, menyambungkannya dengan speaker portable, menuang tumis daging ke piring dan pergi ke ruang tivi. Sofa kami menghadap ke taman sehingga aku bisa langsung melihat rerumputan dan bunga-bunga dalam pot. Aku duduk bersila, mengangkat telapak tanganku menutupi matahari, membentangkan dan menggoyangkannya perlahan. Sinar matahari membias melalui jari-jariku, memancarkan spektrum pelangi yang indah. Pelan-pelan kuhabiskan makan siangku sambil mengirim pesan untuk Baron.
“Sudah makan siang?”
“Sudah.”
“Pakai apa?”
“Kikil cabe ijo sama kerupuk putih.”
“Kok enggak pakai sayur?”
“Cabe ijo kan sayur.” Baron mengirim emoji menjulurkan lidah.
Aku membalas dengan emoji yang sama.
Kucuci piring kotor, lalu membuat teh panas. Dari rak buku kuambil Sejarah Singkat Traktor Dalam Bahasa Ukraina dan di halaman ketigabelas, aku jatuh tertidur.
*
Malam itu untuk pertama kalinya setelah hampir setahun penuh, kami bercinta. Baron memelukku dengan sangat erat setelah semuanya selesai. Kami berbaring berhadapan sampai pagi menjelang, sambil saling menyentuh dan tersenyum. Malamnya, aku bermimpi makan sebiji apel merah yang teramat manis.
Kau tahu aku dan Baron sedang berusaha memiliki anak. September lalu adalah ulang tahun pernikahan kami yang kedelapan, dan selama tiga tahun terakhir upaya kami memiliki bayi telah menjadi begitu ekstrim. Aku sangat obsesif dengan masa suburku, dan menolak bila Baron mengajakku berhubungan di hari-hari lainnya. Aku takut sperma Baron menghampiri telurku yang ternyata belum matang. Bagaimana bila ternyata sperma yang kecele itu justru yang memuat bakal calon bayi kami? Dan bagaikan mandor yang membuat jadwal shift untuk para buruhnya, kuatur jadwal kami berhubungan seks dengan teliti.
Menurut artikel di forum diskusi ibu hamil yang kukunjungi setidaknya tiga kali sehari (utas: Promil alias Program Hamil), bercinta kelewat sering justru tidak dianjurkan. Sperma membutuhkan waktu setidaknya tiga hari agar matang dan siap membuahi, dan itu tidak akan terjadi kalau dikeluarkan setiap hari. Karena perempuan mengalami masa subur pada hari ke-11 dan hari ke-21 dalam siklus menstruasi, Baron berusaha membuahiku di sepanjang siklus itu—dengan jeda setiap tiga hari. Jadwal ini kami jalani dengan kedisiplinan seperti tentara. Baron bahkan mulai menjawab, “Siap, Ndan!” setiap kali aku mengabarinya hari itu adalah jadwal kami membuat anak.
Di antara tawa kami, aku sebenarnya dapat meraba adanya rasa frustrasi.
Aku tidak tahu apakah Baron juga mengunjungi forum diskusi bapak-bapak dan apakah di forum tersebut juga ada thread Promil. Yang aku tahu, seks di antara kami telah menjadi tidak keruan. Sulit sekali untuk berfantasi hal-hal mesum yang membikin terangsang kalau di kepala kami hanya terbayang bayi. Aku tidak lagi menikmati berciuman dengan suamiku, atau menghabiskan waktu bermain-main dengan penisnya yang kujuluki ‘Kamerad’ karena agak bengkok ke kiri, atau mengagumi senyum Baron yang menciptakan kerutan di sudut-sudut matanya—tidak ada waktu. Aku sibuk menghitung masa subur dengan aplikasi di ponsel, memastikan kami berhubungan seks pada waktu yang tepat, dan setiap Baron berejakulasi aku buru-buru menyandarkan kedua kaki di tembok agar spermanya dapat masuk ke rahimku secara maksimal.
Kalau kau sudah menikah lebih dari 1 tahun dan belum hamil-hamil juga, kau akan mulai menjadi bintang di acara keluarga.
“Kok belum jadi juga sih? Kurang ahli ‘kali bikinnya?”
“Program saja di dokter, atau mau langsung bayi tabung?”
“Sudah cek belum? Jangan-jangan Baron nih, yang bermasalah.”
“Kalian kurang sedekah.”
“Angkat anak aja buat pancingan.”
“Masa kalah sama Dika dan Megan? Mereka anaknya udah dua.”
“Baca surat ini deh, lima belas kali sebelum tidur dan waktu bangun.”
“Surat ini juga, ditulis di kertas, kertasnya dicelup, airnya diminum.”
“Minum madu juga.”
“Kamu enggak usah kerja dulu deh, barangkali kecapekan.” Kalimat terakhir ini tentu saja untukku.
Lima tahun awal diberondong komentar masyarakat, kami masih bisa cengengesan. Anak memang tidak pernah menjadi pembahasan utama kami. Baron dan aku menikah terlalu muda (setidaknya menurut standar kami sendiri) sehingga tentu saja kami ingin menikmati waktu berdua. Pekerjaanku di perusahaan humas multinasional membawaku ke tempat-tempat yang menarik, sementara Baron bekerja sebagai senior procurement manager di sebuah perusahaan aki.
Hari-hari kami sempurna seperti di film-film drama keluarga. Sebuah rumah mungil dengan dapur yang cantik dan beranda. Taman kecil di halaman belakang tempat ngobrol sore-sore tiap akhir pekan. Setiap pagi aku memasak sarapan, kami makan bersama, lalu pergi kerja tepat jam tujuh. Kantor kami berdekatan. Baron akan mengantarku duluan dan pulangnya aku naik taksi ke kantor Baron yang searah dengan rumah. Malamnya giliran Baron yang memasak sementara aku menonton series atau reality show favoritku. Setelah makan kami minum anggur atau kopi sambil berbincang, dan kalau mood datang, bercinta. Sebulan sekali kami menyusuri lorong supermarket sambil berdebat tentang merek sereal mana yang lebih renyah, sosis mana yang lebih terasa dagingnya, atau sabun mandi mana yang paling harum.
Tiap kali kami membicarakan tentang anak, perbincangan itu selalu lebih merupakan angan-angan daripada rencana, semacam bucket list berisi hal-hal yang kau bilang akan kau lakukan tapi tidak tahu kapan. Baron dan aku sering melontarkan kalimat-kalimat seperti,
“Anak kita nanti harus dididik suka olah raga dari kecil. Jangan kayak kamu, disuruh lari pagi saja susah banget.”
“Kalau anak kita perempuan dia harus suka baca buku tapi juga pintar dandan. Ngapain pilih salah satu?”
“Kalau anak kita laki-laki dia harus bisa bertukang, tapi juga masak dan beres-beres.”
Tetapi, tiap kali teman-teman kami membatalkan janji nongkrong atau liburan karena anak mereka sakit, atau tantrum, atau perlu ditunggui belajar, atau mendadak muntah di perjalanan, Baron dan aku akan berpandangan dan aku tahu kami memikirkan hal yang sama: betapa nyamannya hidup kami berdua. Seluruh waktu kami adalah milik kami sendiri, tanpa raja-raja kecil yang mendikte kapan kami bisa tidur atau pergi ke kafe atau nonton konser. Betapa mewahnya bisa sarapan pagi dengan tenang dan minum anggur sambil leyeh-leyeh di bangku taman setiap malam. Kami juga bisa membelanjakan uang dengan agak ceroboh untuk membeli hal-hal yang tidak penting tapi membuat senang, seperti koleksi mobil-mobilan dan sepatu Baron, atau koleksi tas untukku. Dalam perencanaan keuangan kami tidak pernah terselip pos untuk pendidikan anak.
Di kantor aku pernah mendapat klien lembaga internasional yang mengurusi masalah lingkungan. Akibat riset yang kukerjakan, pikiranku diberondong dengan bencana sampah, bahaya krisis air, ancaman kepunahan umat manusia karena nuklir, dan hal-hal seram lain yang membuatku yakin dunia akan segera berakhir. Seorang ilmuwan meneliti kandungan air dalam sistem pembuangan limbah di London, dan menemukan konsentrasi amphetamine, methamphetamine, kokain, dan ekstasi yang sangat tinggi di Sungai Thames. Air seni dan tahi begitu jujur. Saluran pembuangan bagaikan buku harian yang menceritakan bagaimana manusia modern gemar mengunyah obat-obatan seperti kacang asin. Dunia menuju kehancuran dan manusia semakin sulit berbahagia.
Semakin dipikirkan, semakin aku enggan mendatangkan satu jiwa tak berdosa ke muka bumi ini. Aku sendiri tidak yakin dapat menjadi ibu yang baik. Kau tahu aku sering ruwet dengan pikiranku sendiri, tidak sabaran, dan punya bakat mencari-cari masalah tiap kali hidup terasa terlalu tenang. Alangkah kasihannya anakku nanti. Jika dia tidak puas denganku, dia tidak bisa menukar-tambahku dengan ibu lain yang lebih baik, atau memintaku mengundurkan diri.
Tahun demi tahun berlalu dan kalenderku semakin penuh dengan undangan baby shower, ulang tahun, dan akikah. Keranjang belanjaku di marketplace pelan-pelan tak lagi terisi make up atau tas desainer, melainkan piyama bayi aneka warna (merah muda bergambar unicorn atau biru bergambar logo klub sepakbola), peralatan makan mungil berwarna cerah dan bebas BPA, atau stroller yang kupilih setelah membandingkan review di lima situs berbeda. Setiap selesai menghadiri acara perbayian, aku segera membuka Facebook dan menjempoli semua foto yang ditautkan ke akunku. Kutelusuri wajah bayi-bayi itu, sesekali menge-zoom jari-jari mungil yang tergenggam membentuk kepalan dan mata yang terpejam. Kuingat betapa harumnya bau kepala mereka dan hatiku berdenyut dipenuhi kerinduan.
Di salah satu foto aku sedang menggendong seorang bayi yang bergelung nyaman dalam selimut lembut, mirip burrito raksasa. Di kepalaku, burrito itu berisi bayiku sendiri, seorang bayi perempuan bernama Zooey atau Chloe, yang tubuhnya menguarkan aroma minyak telon bercampur manis vanila.
Zooey/Chloe nantinya tumbuh menjadi gadis cilik berkuncir dua. Manis, tapi galak pada cowok-cowok. Dia bersekolah di SD dekat rumah, berenang dan menari di akhir pekan. Di SMP, Zooey/Chloe patah hati pertama kali dan kami berbincang semalaman sambil berbagi seember es krim coklat, obat terbaik untuk kisah cinta yang tak bahagia. Zooey/Chloe lalu kuliah ke luar negeri dengan beasiswa dan kami mengobrol setiap tiga hari sekali lewat panggilan video. Zooey/Chloe bercerita tentang studinya, apartemennya, teman-teman kuliahnya, dosennya, dan pacarnya, si calon arsitek yang tampan meski tidak setampan Ayah (di sini Baron tersenyum ge-er). Lalu Zooey/Chloe menikah, punya anak, dan aku jadi nenek. . . kupandangi gambar itu berlama-lama dan tersenyum-senyum seperti ABG jatuh cinta.
Di foto lainnya aku tengah berpose di acara baby shower teman kantor. Meski kami semua mengelilingi si ibu hamil dengan pose dan senyum yang serupa, aku tampak menonjol sebagai si paling langsing dan paling mulus, tanpa kantung hitam di bawah mata dan lemak ekstra di bagian pinggul. Aku si paling modis dengan tas Birkin alih-alih tas popok atau gendongan—seperti ornamen yang salah tempat.
Rumah kami pun terasa semakin sepi. Aku dan Baron semakin sering menghabiskan waktu luang sendiri-sendiri karena rasanya tidak ada lagi yang bisa diperbincangkan. Aku berkutat dengan televisi, dan Baron main game sepakbola di komputernya. Kadang kami memaksakan diri menonton film bersama, tapi setelah bersusah payah menemukan judul yang kami sama-sama suka (Baron suka genre horor sedangkan aku tidak paham di mana logikanya membayar-untuk-ditakut-takuti), suamiku biasanya jatuh tertidur di tengah-tengah film. Aku mematikan teve dan pergi ke kamar sementara Baron terlelap di sofa hingga pagi.
*
Satu tahun kemudian baru kusadari bahwa tekad saja tidak cukup untuk punya anak. Dari seratus juta sperma yang dikeluarkan suamiku setiap kali dia berejakulasi, tidak ada satu pun yang berhasil menempel ke sel telurku. Aku tidak tahu siapa yang salah, sel telurku yang terlalu jual mahal ataukah sperma Baron yang terlalu malas berenang.
Aku dan Baron sudah menelan berbagai macam pil, vitamin, menjajal tusuk jarum, makan kurma, minum telur mentah dicampur jintan hitam dari Arab (obat dari segala penyakit—kecuali kematian), bereksperimen dengan macam-macam posisi hubungan seks, membasuh kelamin dengan air dingin, air hangat, air dingin campur cuka, air hangat campur cuka, air kembang yang dicelup kertas doa. . . pokoknya semua saran yang bisa kami temukan di forum internet maupun nasihat orang-orang tua. Aku bahkan berhenti bekerja.
Suasana rumah menjadi tegang karena aku mulai uring-uringan. Aku memprotes kebiasaan Baron merokok, hobinya begadang, keengganannya makan sayur, kemalasannya berolahraga, pendeknya gaya hidup yang sebenarnya sudah kuketahui dan kuterima sejak kami masih pacaran. Dalam upaya menurunkan tensi di rumah, Baron menurutiku. Dia berusaha keras tidur maksimal jam sebelas malam, bangun pukul enam pagi, mengambil sepatu dan lari keliling kompleks bersamaku. Dia juga berhenti merokok (di rumah). Buah-buahan yang kuiris dan kusimpan rapi dalam kotak makanan di kulkas dia kunyah satu-dua potong. Tapi perubahan ini hanya bertahan dua minggu. Begitu periode uring-uringanku berakhir, Baron kembali ke kebiasaan lamanya.
Aku lalu menyerah mengatur Baron dan berkonsentrasi mengurus tubuhku sendiri. Usiaku 33 tahun sekarang, agak terlalu tua untuk menjadi ibu dalam ukuran orang Indonesia, tapi secara biologis belum terlambat. Telur-telurku masih sehat dan rahimku masih kuat. Menurut dokter kandungan, aku juga belum memasuki ‘periode rawan’, yaitu para ibu yang hamil anak pertama di usia 40 tahun ke atas. Konon mereka lebih berpotensi melahirkan bayi dengan gangguan fisik dan/atau mental.
Di akhirat nanti, kalau aku ketemu Tuhan, akan kutanyakan kenapa Dia bikin tubuh perempuan seperti makanan kaleng. Kubayangkan di bawah pusar atau pantatku ada tulisan: Best Before: Mei 2026.
Dalam sebuah forum ibu hamil yang sering kukunjungi, ada seorang perempuan yang sudah menikah lebih dari satu dekade dan sangat mendambakan anak. Suatu kali, dia memutuskan mencoba diet food combining alias memadukan makanan. Inti dari diet ini adalah mengatur kombinasi menu makan siang dan makan malam: karbohidrat dengan sayur; atau protein dengan sayur (saat sarapan hanya boleh makan buah). Karbohidrat tidak boleh dimakan berbarengan dengan protein karena keduanya membutuhkan enzim yang berbeda untuk dicerna. Konon segala jenis penyakit lambung, seperti kembung, perut bergas, dan konstipasi, berasal dari kebiasaan yang salah ini. Setelah satu bulan, perempuan tadi turun berat badan, kulitnya lebih halus, dan akhirnya berhasil hamil.
Setiap pagi aku melumatkan aneka buah sambil berharap nasibku akan sama seperti perempuan itu. Makan siang dan makan malamku kuatur sedemikian rupa. Kalau saat makan siang aku kepingin daging, aku tidak makan nasi. Dan kalau makan malam aku kepingin nasi, aku tidak makan daging. Kuhitung setiap kalori makananku dengan hati-hati. Vitamin asam folat kuminum setiap hari tanpa terlewat, kadang kutambah vitamin E dan zat besi. Kubayangkan tubuhku seperti sebuah rumah yang sedang dibersihkan, perlahan-lahan bersiap dihuni. Baron tidak berkomentar apa-apa mengenai diet ini, tapi dia meringis saja kalau kutawari membawa bekal.
Dengan sabar kutandai setiap masa subur yang terlewat. Kutandai juga masa subur di bulan berikutnya. Kucatat berapa panjang siklus bulananku, dan berapa lama variasi jeda dari bulan ke bulan. Siklus menstruasiku ternyata tidak serapi yang kukira. Kadang jeda 29 hari, kadang lebih dari 30 hari, kadang tak lebih pendek dari 25 hari. Aku membeli alat pendeteksi kesuburan yang menggunakan air liur. Bentuknya seperti lipstik tapi ujungnya bulat, mirip teropong kecil. Cara pakainya: oleskan alat di bagian dalam pipi, tunggu sejenak, lalu lihat pola yang terbentuk. Apabila pola yang terbentuk terlihat ruwet dan rapat, berarti aku sedang subur. Kalau renggang, berarti sebaliknya.
Kadang aku kesulitan sendiri menentukan pola yang terlihat; apakah rapat atau renggang? Ruwet atau masih tampak sederhana? Kucoba menggambar pola-pola yang muncul agar lebih mudah membacanya, tapi usahaku sia-sia karena setiap pola terlihat berbeda.
Pada pertengahan tahun kedua program hamil, mensku sempat terlambat seminggu. Aku dan Baron girang bukan kepalang. Baron membeli lima buah alat tes kehamilan, dari mulai yang digital seharga 120 ribuan sampai yang berbentuk strip dan dikemas dalam kardus bergambar mawar merah seharga seribu lima ratus rupiah. Aku memutuskan mencoba dari yang termurah dulu. Kalau hasilnya negatif, aku bisa bilang akurasinya kurang bagus dan mencoba lagi dengan alat yang lebih mahal.
Pagi itu aku mengeluarkan testpack dari kotak yang tipis, membuka celana dalam, duduk di toilet, dan menampung air kencingku dengan sloki bekas yang ujungnya rompal. Lalu, masih duduk di toilet dengan celana dalam melorot ke bawah, dengan hati-hati kucelupkan kertas kecil berbentuk batang itu ke dalam sloki. Kutunggu lima detik. Lalu sepuluh detik. Lalu lima belas detik. Aku tak berani mengintipnya.
Kutarik napas, dan. . .
. . . satu garis merah. Aku menahan tangis.
Selama lima hari berturut-turut aku memakai semua alat tes kehamilan yang dibelikan Baron. Selama itu pula mensku tidak datang. Di pagi kelima, ketika alat tes kehamilan digital (pertahanan terakhirku) lagi-lagi mengabarkan bahwa aku tidak hamil, alat itu kulempar ke Baron yang sedang tidur. Dia bergeming. Lalu empat testpack yang lain kulemparkan juga ke arahnya, berikut pakaian kotor, deodoran, minyak kayu putih, bedak, gayung, apapun yang bisa kuraih. Baron tergeragap bangun lalu bergegas memelukku yang menangis tersedu-sedu. Siangnya, aku mens. Dokter kandungan bilang aku terlalu stres sehingga jadwal mensku mundur hampir dua minggu. Ini hormonal saja, Pak. Entah kenapa dia bicara kepada Baron, bukan kepadaku. Tolong Ibu dijaga agar tidak terlalu tegang.
Peristiwa itu membuat Baron jadi lebih perhatian kepadaku. Rita, kakak perempuan Baron, jadi rajin menelepon dan berbagi jenis makanan yang bagus untuk upaya hamil: tumis tauge, pisang, telur, kacang almond, dan jeniper alias jeruk nipis peras. Baron membelikanku aneka macam vitamin impor yang harganya membuatku mengernyitkan kening. Limpahan perhatian ini mengesalkanku. Aku merasa gagal dan orang gagal tidak selayaknya malah mendapat hadiah. Orang gagal pertama-tama harus dihina, lalu dilecut agar bangkit.
“Amara,” kata Baron hati-hati. Aku sedang membaca buku di taman, menunggu maghrib. Akhir-akhir ini Baron lebih sering nongkrong di ruang kerjanya sampai pagi, pada akhir pekan sekali pun. Dalam keadaan normal aku tentu akan merajuk, memintanya menyediakan waktu lebih untukku, tapi akhir-akhir ini aku seperti kena sembelit perasaan. Ketika Baron hendak mencium keningku, kupalingkan wajah. Dia tampak terluka dan untuk sesaat aku merasakan kepuasan yang aneh.
Baron mengangkat bahu, lalu menarik kursi dan duduk di sebelahku. “Aku mau ngomong sesuatu, boleh?”
Aku menandai halaman dengan pembatas buku. “Ada apa, Ron?”
Baron mengusap-usap hidungnya seperti orang yang gagal bersin. “Menurutku sudah waktunya kita tes kesuburan.”
Kupandangi suamiku dan wajahnya langsung memerah.
“Aku tahu sejak awal kita menghindari tes ini karena tidak mau terbebani jika ada vonis yang tidak enak,” kata Baron buru-buru. “Tapi kita sudah masuk tahun kedua, Mar. Sudah cukup lama kita mencoba.”
Aku terdiam.
“Apa pun hasilnya, aku akan terima. Semoga kamu juga begitu.” Baron menyentuh kepalaku sekilas.
“Termasuk kalau aku mandul?” Tanyaku.
“Termasuk kalau aku mandul?” Baron membeo.
Aku tersenyum. Baron meringis. Kami berpelukan.
Dua minggu kemudian, hasil tes keluar. Kami berdua sehat. Sperma Baron tidak terlalu malas berenang dan sel telurku rupanya tidak jual mahal—mereka hanya belum ketemu.
Hasil ini membuat Baron bersemangat, tetapi justru membuatku semakin bersedih. Aku mungkin lebih bisa menerima jika ada yang salah dengan kami berdua, atau salah satu dari kami, sehingga kegagalan-kegagalan selama dua tahun terakhir bisa dijelaskan. Selama ini aku juga tidak mengkonsumsi pil KB atau obat-obatan lain yang bisa mengacaukan hormon. Fakta bahwa kami berdua sehat tapi aku tidak kunjung hamil membuatku merasa kurang beruntung. Sperma yang malas berenang dan telur yang tidak matang bisa diobati, tapi nasib buruk tidak bisa diapa-apakan.
Gairah seksku menurun drastis. Aku masih senang melihat wajah ganteng aktor-aktor film yang kutonton, tapi tidak pernah lagi kubayangkan mereka dalam fantasi yang mesum. Pernah saat Baron tidak di rumah, kutemukan potongan klip pria sedang beronani. Penisnya besar dan pria itu terlihat seksi dengan tubuhnya yang atletis dan celana pendek yang melorot hingga ke paha. Aku mencoba bermasturbasi dengan bantuan klip itu tapi setelah satu menit, aku menyerah. Yang terlintas di pikiranku hanya apakah sperma yang keluar dari penis itu bisa menghasilkan anak.
Aku tidak tahu apa yang dilakukan Baron untuk mengatasi embargo seks yang tak disengaja di antara kami, tapi aku pernah satu kali memergoki ponselnya yang tak dikunci sedang memutar video mesum. Pernah pula ia lupa menyiram spermanya yang masih menggenang di kloset. Bisa jadi dia sengaja. Mungkin Baron ingin menyalahkanku karena tidak memenuhi hasratnya dengan baik. Mungkin Baron ingin menunjukkan bahwa ia masih memiliki gairah, bahwa ia tidak melihat perempuan telanjang dan berpikir apakah perempuan itu bisa hamil atau tidak. Sementara bagiku, semua penis di dunia ini, sebesar dan sekeras apa pun, tidak ada artinya jika tidak bisa menghamili.
Tetapi Baron dan aku masih saling bicara. Kami berdiskusi soal pekerjaannya, pekerjaanku, Rita, dan teman-teman kami. Hubungan kami seperti dua orang yang kebetulan tinggal seatap. Baron mulai lebih sering menghabiskan malam di kamar kerjanya dan aku seorang diri di kamar tidur. Kami tidak lagi membicarakan soal kehamilan dan keinginan untuk memiliki anak. Aku tidak tahu bagaimana perasaan Baron. Yang aku tahu, keluarga dan kenalan kami, baik di kehidupan nyata dan di media sosial, lebih sering menyemangatiku, bukan Baron. Kalau ada resep jus atau obat atau makanan atau vitamin atau apa pun itu yang konon manjur untuk kehamilan, mereka akan memberitahuku, bukan Baron. Kalau mereka ingin berbasa-basi setelah lama tidak ketemu, mereka akan bertanya,
“Amara sudah isi belum, nih?” Sambil memegang perutku.
Tapi tidak ada yang memegang penis Baron sambil bertanya, “Baron sudah berhasil menghamili belum, nih?”
Barangkali inilah mengapa aku merasa perjuangan hamil sebagai saat-saat paling sepi dalam hidupku. Rasanya aku sendirian mengejar sesuatu yang tidak pasti. Meski demikian, aku masih menyayangi Baron. Kalau aku sedang sentimentil dan membayangkan masa depan yang indah aku selalu memikirkan dia. Kubayangkan ekspresi bahagia Baron jika suatu saat nanti aku bisa memberinya testpack bergaris dua. Kubayangkan para kenalan memberi kami selamat. Kubayangkan mengundang teman-temanku ke acara baby shower, akikah, dan ulang tahun anakku. Kubayangkan menggandeng Baron dan berjalan-jalan di sekitar kompleks perumahan dengan perut besar dan setiap orang yang melihatku akan tersenyum: lihatlah, perempuan itu akan menjadi seorang ibu, betapa bahagianya.
(Karena itukah aku ingin punya anak? Agar aku bisa bilang bahwa aku sudah menjalankan peran utamaku sebagai perempuan? Agar aku bisa menggenapkan tugas tubuhku yang dirancang untuk melanjutkan kehidupan? Agar aku bisa pergi ke acara keluarga atau reunian tanpa merasa tersakiti lantaran terus-terusan ditanya ‘kapan?’, ‘kapan?’)
Memasuki tahun ketiga, aku mulai pandai menerima nasib. Barangkali menjadi ibu memang bukan untukku. Mungkin Tuhan tahu aku akan menjadi ibu yang payah dan Dia mengasihani calon anakku sehingga mencarikannya rahim yang lain, rahim perempuan yang lebih pantas. Waktu aku kecil ada tetangga kami yang tidak punya anak, sepasang kakek-nenek dengan dua belas ekor kucing di rumah mereka. Mbah Raji, si kakek, pensiunan tentara dan Uti Ani, si nenek, bekas guru TK. Mbah Raji tinggi tapi agak bungkuk. Matanya lebar dan rambutnya keperakan dan dia hampir selalu mengenakan sarung. Saat duduk menonton TV, bagian depan sarung Mbah Raji selalu menjuntai ke depan dan aku dan teman-teman bergantian mendudukinya, berpura-pura itu ayunan, membuat kakek tua itu terkekeh. Lalu Uti Ani akan datang membawa nampan berisi es krim dan permen susu yang kenyal dan membuat gigi geligi kami lengket.
Rumah Mbah Raji dan Uti Ani mungil dan berbau minyak angin serta biskuit yang sudah agak tengik, tapi sampai sekarang aku mengingatnya dengan hati hangat. Aku berhenti datang ke rumah Mbah Raji hanya setelah Toni, tetanggaku yang tinggal kelas dua kali, menyodok perut salah satu kucing yang baru melahirkan. Si kucing mengamuk, lalu mencakar benda terdekat—aku, sementara si penjahat sudah duluan lari tunggang-langgang. Kusentuh bekas cakaran ibu kucing yang memanjang di bagian dalam lengan kiriku. Mungkin aku dan Baron nanti bisa seperti Mbah Raji dan Uti Ani, menjadi kakek-nenek bagi anak-anak sekampung. Aku akan memanggang kue-kue dan Baron sepanjang hari memakai sarung.
“Ron, lihat deh,” aku menyorongkan layar laptopku. “Louis Signore, nenek-nenek umur 107 tahun dari New York. Salah satu orang tertua di dunia.”
“Resep umur panjangnya adalah,” Baron membaca, “. . . jauh-jauh dari laki-laki dan pernikahan.”
Aku nyengir. “Kok aku baru baca artikel ini sekarang, ya?”
Baron mengetik sesuatu di laptopku, lalu tersenyum penuh kemenangan. “Nih, biaya pengacara kasus perceraian.”
“Itu nol-nya enggak kelebihan satu?”
Aku dan Baron mulai mengobrol dengan lebih rileks. Kadang kusentuh bahunya atau kupeluk dia sekilas ketika dia sedang bekerja. Aku juga lebih santai menikmati aktivitasku di rumah. Kalau tidak sedang memasak atau berolahraga, aku membersihkan rumah. Setelah Baron berangkat ke kantor, aku mulai dengan mencuci baju. Hari itu kucuci pakaian berwarna lebih dahulu. Kutuang pakaian kotor, deterjen cair, dan kupencet tombol START. Mesin cuci memperdengarkan nada khas, mulai mengisi air hingga batas tertentu, lalu mulai mengaduk-aduk isinya. Busa mengambang di permukaan. Terdengar suara brrrr brrrr brrrr, mekanis dan sistematis.
Aku kembali ke dapur, meneguk kopi dan mulai menyiapkan makan siang sederhana. Kukeluarkan daging dari kulkas, tauge, dan paprika. Daging kuiris tipis-tipis dan kubumbui dengan garam, lada, dan ketumbar bubuk. Aku menyetel musik klasik, menyambungkannya dengan speaker portable, menuang tumis daging ke piring dan pergi ke ruang tivi. Sofa kami menghadap ke taman sehingga aku bisa langsung melihat rerumputan dan bunga-bunga dalam pot. Aku duduk bersila, mengangkat telapak tanganku menutupi matahari, membentangkan dan menggoyangkannya perlahan. Sinar matahari membias melalui jari-jariku, memancarkan spektrum pelangi yang indah. Pelan-pelan kuhabiskan makan siangku sambil mengirim pesan untuk Baron.
“Sudah makan siang?”
“Sudah.”
“Pakai apa?”
“Kikil cabe ijo sama kerupuk putih.”
“Kok enggak pakai sayur?”
“Cabe ijo kan sayur.” Baron mengirim emoji menjulurkan lidah.
Aku membalas dengan emoji yang sama.
Kucuci piring kotor, lalu membuat teh panas. Dari rak buku kuambil Sejarah Singkat Traktor Dalam Bahasa Ukraina dan di halaman ketigabelas, aku jatuh tertidur.
*
Malam itu untuk pertama kalinya setelah hampir setahun penuh, kami bercinta. Baron memelukku dengan sangat erat setelah semuanya selesai. Kami berbaring berhadapan sampai pagi menjelang, sambil saling menyentuh dan tersenyum. Malamnya, aku bermimpi makan sebiji apel merah yang teramat manis.